SEJARAH
PEMBUKUAN HADIS
Hadis
menurut bahasa adalah perkataan. Sedangkan menurut istilah adalah perkataan,
perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Hadis berfungsi sebagai penjelas
Al-Quran. Salah satunya adalah perintah shalat. Dalam Al-Quran, shalat hanya
diperintahkan secara global. Sedangkan di dalam hadis, dapat diketahui tata
cara shalat secara terperinci seperti, bacaan doa iftitah, tata cara sujud dan
sebagainya. Hadis juga menerangkan ketentuan hukum yang tidak ada di dalam
Al-Quran. Maka taat kepada Rasulullah wajib hukumnya setelah taat kepada Allah.
Allah berfirman :
و اطيعوا الله و الرسول لعلكم ترحمون (ال
عمران:132)
Dan
taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Qs. Ali Imran/3:132)
Oleh karena itu mengingkari hadis sama dengan
mengingkari perintah taat kepada rasul. Al-Quran dan hadis tidak dapat
dipisahkan dalam pengambilan suatu keputusan hukum.
Pada zaman Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama.
Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Muhammad SAW baik yang
sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini
para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima.
Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain :
-
Khawatir tercampur dengan tulisan Al-Quran
-
Menghindarkan
umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
- Khawatir dalam
meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW.
2. Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin
Setelah Rasulullah SAW wafat para
sahabat mulai menebarkan hadis kepada kaum muslimin melalui tabligh.
Di samping itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar berhati-hati dan
memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan kepada kaum muslimin.
Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah. Tetapi meyebar ke
kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum meluas kepada
masyarakat. Karena para sahabat lebih mengutamakan mengembangkan Al-Quran.
Ada dua cara meriwayatkan hadis pada
masa sahabat:
- Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
- Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Cara yang kedua ini rnenimbulkan
bermacam-macam lafal (matan), tetapi maksud dan isinya tetap sama. Hal ini
mmbuka kesempatan kepada sahabat-sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW untuk
mengembangkan hadis, walaupun mereka tersebar ke kota-kota lain.
3. Masa
pembukuan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz seorang
khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan
tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala
daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang
terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu
yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri
(tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan
tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang
terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a
maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak
ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu
dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan
mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah
menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
lain.
Di tempat
lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain:
- di Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
- di Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
- di Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
- di Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
- di Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
- di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
- di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
- di Kufah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
- di Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
- di Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
- di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
- Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
Yang perlu menjadi catatan atas
keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab pada masa Abad II
Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana
yang Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu'. Pada abad ini, pembukuan
hadis secara resmi tidak menyeleksi apakah yang mereka bukukan itu hadis Nabi
atau ucapan sahabat atau tabi’in. Buku hadis yang terkenal pada masa itu adalah
:
-
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik
-
Al-Umm karya Imam Syafi’iy
-
Mukhtaliful Hadis Karya Imam Syafi’iy
-
Al-Mushannaf karya Al-Auza’i
Masa pendiwanan dan penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan,
pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits
dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan
pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al
Hadits yang marfu', mauquf dan maqtu'. Al Hadits marfu' ialah Al Hadits yang
berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi
perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi'in.
Pengelompokan tersebut di antaranya dilakukan oleh :
- Ahmad bin Hambal
- 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
- Musaddad Al Bashri
- Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
- 'Utsman bin Abi Syu'bah
Yang paling mendapat perhatian
paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad
bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits,
10.000 di antaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir
ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud
(tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad
sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit
termuat dengan yang dla'if dan 4 hadist maudlu'.
Adapun
pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya.
Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :
Ia adalah
salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan
juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim.
Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan
kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih Bukhari, Al Jamush
Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah
diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak
shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
- Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) - berisi Al Hadits yang shahih saja
- Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla'if yang tidak munkar.
- Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para
ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al
Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli
Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas
Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa
abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist.
Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab
Al Hadits, menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya. Kitab
hadis masa itu yang terkenal hingga sekarang adalah Al-Kutub As-Sittah (enam
kitab hadis), yaitu :
-
Sahih Al-Bukhari karya Imam Bukhari
-
Sahih Muslim karya Imam Muslim
-
Sunan Abi Daud karya Imam abu Dawud
-
Sunan At-Tirmizi karya Imam Tirmizi
-
Sunan An-Nasa’i karya Imam Nasa’i
-
Sunan Ibni Majah karya Imam Ibnu
Majah
Enam kitab
inilah yang sampai sekarang dijadikan buku induk hadis. Para ulama ketika
membahas suatu permasalahan agama dan mencari hadis-hadis nabi sebagai sumber
hukumnya, maka mereka akan merujuk pada enam kitab hadis tersebut.